Selasa, 23 Desember 2014

Contoh Kasus Benturan Kepentingan



Kasus Penggelembungan Nilai pada PT Kimia Tbk

Perlu diperhatikan isu – isu etika dalam dunia bisnis dan profesi secara dramatis telah banyak meningkat belakangan ini, terlebih setelah kasus skandal – skandalnya khususnya di bidang akuntansi yang telah menarik perhatikan masyarakat. Contoh di dalam negeri ini, adalah kasus penggelembungan nilai (mark up) PT Kimia Farma Tbk pada tahun 2001. Laba bersih dilaporkan sebesar Rp 132 miliar lebih, padahal seharusnya hanyalah sebesar Rp 99,6 miliar.


Berdasarkan hasil pemeriksaan BAPEPAM, penggelembungan sebesar Rp 32,7 miliar tersebut berasal dari:
-          Overstated atas penjualan pada Unit Industri Bahan Baku sebesar 2,7 miliar
-          Overstated atas persediaan barang pada Unit Logistik Sentral sebesar Rp 23,9 miliar \
-          Overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar dan dan overstated atas penjualan sebesar Rp 10,7 miliar pada unit Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Untuk diketahui bahwa yang mengaudit tahun buku 2001 adalah kantor akuntan HTM itu sendiri, hanya berbeda partner. Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari KAP HTM adalah Syamsul Arif, sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam pengauditan semester I tahun buku 2002 adalah Ludovicus Sensi W.
Menurut pihak PT. Kimia Farma menduga bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory stock. Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal mengungkapkan tentang kasus PT. Kimia Farma sebagai berikut: Dalam rangka restrukturisasi PT.Kimia Farma Tbk, Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT. Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per-31 Desember 2001.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT. Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti sebagai berikut: Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar, yang merupakan 2,3% dari penjualan, dan 24,7% dari laba bersih PT. Kimia Farma Tbk.
Selain itu kesalahan juga terdapat pada Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada: Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit logistik sentral, kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Unit pedagang besar farmasi (PBF), kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar.
Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 – juni 2002 dengan cara : Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT Kimia Farma. Master price per-3 Februari 2002 merupakan master price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember 2001. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit bahan baku. Pencatatan ganda dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan. Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam no. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang melakukan audit laporan keuangan per 31 Desember 2001 PT Kimia Farma telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam SPAP dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya mark up laba yang dilakukan PT. Kimia Farma.
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan pasal 102 UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 61 PP no.45 tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan bidang pasar modal maka PT. Kimia Farma Tbk, dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp 500 juta.
Sesuai pasal 5 huruf N UU no.8 tahun 1995 tentang pasar modal maka:
Direksi lama PT. Kimia Farma periode 1998 – juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1 milyar untuk disetor ke kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per-31 Desember 2001. Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT. Kimia Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp 100 juta untuk disetor ke kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai SPAP dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.

Analisis yang dapat disimpulkan dalam kasus diatas adalah :
Di dalam kasus ini bahwa para pelaksanaan audit,  kurang kompeten dalam bidang audit. Para auditor harus ditugasi dan disupervisi sesuai dengan tingkat pengetahuan, keterampilan,dan kemampuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengevaluasi bukti audit yang mereka periksa.

Sumber : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar