Kasus Penggelembungan Nilai pada PT Kimia Tbk
Perlu diperhatikan isu – isu etika dalam dunia bisnis dan
profesi secara dramatis telah banyak meningkat belakangan ini, terlebih setelah
kasus skandal – skandalnya khususnya di bidang akuntansi yang telah menarik
perhatikan masyarakat. Contoh di dalam negeri ini, adalah kasus penggelembungan
nilai (mark up) PT Kimia Farma Tbk pada tahun 2001. Laba bersih dilaporkan sebesar Rp 132 miliar lebih,
padahal seharusnya hanyalah sebesar Rp 99,6 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BAPEPAM, penggelembungan
sebesar Rp 32,7 miliar tersebut berasal dari:
-
Overstated atas penjualan pada Unit Industri
Bahan Baku sebesar 2,7 miliar
-
Overstated atas persediaan barang pada Unit
Logistik Sentral sebesar Rp 23,9 miliar \
-
Overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1
miliar dan dan overstated atas
penjualan sebesar Rp 10,7 miliar pada unit Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Untuk diketahui bahwa yang mengaudit
tahun buku 2001 adalah kantor akuntan HTM itu sendiri, hanya berbeda partner.
Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari KAP HTM adalah Syamsul Arif,
sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam pengauditan semester I tahun buku
2002 adalah Ludovicus Sensi W.
Menurut pihak PT. Kimia Farma menduga
bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory stock. Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal
mengungkapkan tentang kasus PT. Kimia Farma sebagai berikut: Dalam rangka
restrukturisasi PT.Kimia Farma Tbk, Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP
HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT. Kimia Farma untuk
masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan adanya
kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan
penjualan untuk tahun yang berakhir per-31 Desember 2001.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan
dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan
penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT. Kimia Farma setelah
melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada
semester I tahun 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti
sebagai berikut: Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia
Farma, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31
Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar, yang merupakan 2,3% dari penjualan, dan
24,7% dari laba bersih PT. Kimia Farma Tbk.
Selain itu kesalahan juga terdapat pada
Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated
pada: Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit logistik
sentral, kesalahan berupa overstated
pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Unit pedagang besar farmasi
(PBF), kesalahan berupa overstated
pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar.
Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut
dilakukan oleh direksi periode 1998 – juni 2002 dengan cara : Membuat dua
daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1
Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh
pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT Kimia Farma. Master price per-3 Februari 2002
merupakan master price yang telah
disesuaikan nilainya (mark up) dan
dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT
Kimia Farma per 31 Desember 2001. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan
pada unit PBF dan unit bahan baku. Pencatatan ganda dilakukan pada unit-unit
yang tidak disampling oleh akuntan. Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang
dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam no. VIII.G.7
tentang pedoman penyajian laporan keuangan.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah
dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang melakukan audit laporan keuangan per 31
Desember 2001 PT Kimia Farma telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur
audit sampling yang telah diatur dalam SPAP dan tidak ditemukan adanya unsur
kesengajaan membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan
tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya
mark up laba yang dilakukan PT. Kimia
Farma.
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka
sesuai dengan pasal 102 UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 61 PP
no.45 tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan bidang pasar modal maka PT.
Kimia Farma Tbk, dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp
500 juta.
Sesuai pasal 5 huruf N UU no.8 tahun 1995
tentang pasar modal maka:
Direksi lama PT. Kimia Farma periode 1998
– juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1 milyar untuk disetor ke kas
Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan
per-31 Desember 2001. Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT. Kimia
Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp 100 juta untuk disetor ke kas Negara,
karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan
laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan
prosedur audit sesuai SPAP dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.
Analisis yang dapat disimpulkan dalam kasus
diatas adalah :
Di dalam kasus ini bahwa para pelaksanaan
audit, kurang kompeten dalam bidang
audit. Para auditor
harus ditugasi dan disupervisi sesuai dengan tingkat pengetahuan,
keterampilan,dan kemampuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengevaluasi
bukti audit yang mereka periksa.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar